Belakangan ini bumi Indonesia digegerkan dengan adanya berita yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi sembilan negara dengan kualitas udara paling buruk berdasarkan hasil analisis IQ Air (tempo.co). Selain itu, IQ Air juga menyatakan bahwa kualitas udara di DKI Jakarta merupakan yang terburuk di dunia (republika.co.id). DKI Jakarta menempati level unhealthy pada tanggal 5 Juli 2022 dengan nilai indeks sebesar 162. Sementara KLHK melalui portal Indeks Standar Pencemaran Udara (ispu.menlhk.go.id), dari 7 stasiun pengamatan yang ada di DKI Jakarta 6 stasiun dalam kategori Sedang yang 4 di antaranya berada di ambang batas atas menuju tidak sehat, sementara satu stasiun berada pada kategori tidak sehat.
Sebagaimana kita ketahui DKI Jakarta merupakan kawasan yang didominasi perkantoran dan pemukiman padat penduduk. Polusi yang dihasilkan akibat aktivitas yang terjadi di dalamnya tentu tidak rendah. Asap hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor bisa jadi penyumbang utama polutan udara di DKI Jakarta. Ditambah lagi dengan aktivitas industri yang ada di dalam dan kawasan sekitarnya. Polutan akan terakumulasi di atmosfer, yang jika pada ambang batas terntentu akan membahayakan mahluk hidup yang ada di dalamnya. Dalam penilaian Indeks Kualitas Udara yang dilakukan IQ Air dan KLHK beberapa parameter polutan yang digunakan adalah PM2.5 dan PM10, SO2, NO2, dan O3 di permukaan.
Dinamika polusi udara bervariasi setiap waktu. Bisa berubah dalam periode bulanan, harian, bahkan jam. Sebagai contoh NO2 yang dihasilkan di DKI Jakarta menghasilkan nilai rata-rata bulanan yang beragam. Data citra satelit menunjukkan kenampakan distribusi rata-rata bulanan NO2 di atmosfer DKI Jakarta kurun waktu Juni 2019 sampai Juni 2022.
Ilustrasi diolah dari Sentinel 5P
Rata-rata bulanan polutan NO2 di atmosfer DKI Jakarta memiliki konsentrasi 0,3-0,62 mikrogram per meter kubik. Besaran ini masih aman dari ambang batas minimum 40 mikrogram per meter kubik menurut baku mutu udara WHO.