Perjalanan Tidak Terlupakan di Pantai Utara Pulau Papua

Akhir bulan September 2023 menjadi waktu di mana dimulainya perjalanan nan jauh ke tanah cenderawasih (Pulau Papua). Perjalanan ini merupakan pengalaman pertama penulis untuk menginjakkan kaki di Pulau Papua. Bukan tanpa sebab, penulis melakukan perjalanan ini dalam rangka melakukan kegiatan Studi Kelayakan proyek karbon di salah satu perusahaan kehutanan di pantai utara Papua, tepatnya Kabupaten Sarmi.

Pasca sampai di Bandara Sentani, penulis dan tim kembali melakukan perjalanan darat selama kurang lebih 5 jam untuk sampai di kabupaten Sarmi. Kabupaten Sarmi merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Papua tepatnya bagian utara Provinsi Papua. Asal-usul nama Sarmi sendiri berasal dari  singkatan dari nama suku-suku besar yang terdapat di wilayah ini, yakni Sobei, Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa. Namun, kondisi di lapangan jumlah suku besar di Sarmi lebih dari yang telah disebutkan di atas. Bahkan, penulis pun telah bertemu salah satu suku besar yang tidak termasuk ke dalam 5 suku besar di Sarmi. Suku besar ini bernama Mahiabona.

Kembali lagi ke cerita perjalanan yang dialami oleh penulis, pasca sampai di Kabupaten Sarmi, Penulis langsung disambut dengan hangat oleh masyarakat lokal, salah satunya ialah Ondoafi desa Rotea. Sebagai informasi, Ondoafi adalah pemimpin adat di kampung yang tugas utamanya adalah memelihara dan melaksanakan hukum atau tatanan adat di wilayah kampung yang bersangkutan. Selain itu, Ondoafi juga bertanggung jawab dan berwenang mengatur tanah ulayat masyarakat adat di kampung tersebut. Biasanya Ondoafi dipilih dari laki-laki yang dianggap paling kuat, berani, dan bijaksana serta mengetahui ketentuan-ketentuan adat dan diutamakan berdasarkan garis keturunan dari keturunan yang paling tua. Ondoafi yang menyambut kami ialah Titus Bweser. Pak Titus bercerita tentang kondisi desanya mulai dari membahas penduduk, akses terhadap kebutuhan dasar (pendidikan, air dan kesehatan), sampai mayoritas mata pencaharian penduduk. Penduduk di desa Rotea didominasi oleh masyarakat asli Papua. Masyarakat asli Papua dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya masih sangat bergantung dengan hutan untuk berburu dan mengambil kayu. Uniknya, sebelum melakukan kegiatan berburu atau mengambil kayu di hutan, masyarakat harus terlebih dahulu untuk meminta izin kepada Ondoafi. Apabila tidak diperbolehkan, maka masyarakat tidak bisa melakukan perburuan maupun pengambilan kayu. Untuk kegiatan berladang, dilakukan secara subsisten oleh masyarakat, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Keesokan harinya, perjalanan di pantai utara Papua semakin menarik, karena kita bertemu dengan suku yang menjadi prajurit ketika perang suku di Papua. Kenapa suku prajurit ? karena suku ini bukan merupakan suku asli di daerah Bonggo yang menjadi tempat kami tinggal di Sarmi, namun berasal dari Tokra (nama saat ini Sawar). Suku prajurit ini bernama suku Mawes. Berdasarkan cerita dari Michael Saleh  (Kepala kampung Mawes wares), awalnya Suku Mawes membantu suku Ansudu yang merupakan suku asli untuk melawan suku takar dan tarontha. Hasilnya ialah suku Ansudu dengan bantuan suku Mawes, menang atas suku takar dan tarontha. Sehingga, sebagai bentuk rasa terima kasih, suku Ansudu menghadiahkan tanah suku mereka untuk ditinggali oleh suku Mawes sampai saat ini. Tempat tinggal suku Mawes ini kemudian dikenal dengan kampung Maweswares. Sebagai informasi tambahan, memang di tanah Papua, seluruh lahan di darat maupun perairan, ada suku tertentu yang memiliki hak atas lahan atau perairan tersebut. Hak ini dinamakan dengan Hak ulayat. Sehingga, tidak bisa sembarang orang bisa memanfaatkan secara seenaknya, namun perlu komunikasi dan izin dari masyarakat suku asli di sana.

Sore harinya, kami bertemu dengan Ondoafi Suku Vedan yakni Pak John K Bitbit, suku ini bermukim di desa Podena. Pada awalnya suku ini berasal dari pulau Podena, namun ketika pendudukan Belanda, masyarakat diminta untuk pindah ke daratan. Suku Vedan ini termasuk ke dalam suku besar Sobey. Suku Sobey memang dikenal sebagai suku pelaut yang ulung. Selain melaut, suku Sobey khususnya suku Vedan, sangat memperhatikan kelestarian budayanya. Mereka bersama masyarakat dan anak muda membuat sanggar pelestarian seni dan bahasa di tengah gempuran modernisasi zaman. Ketika saya berkunjung ke rumah Pak John, terlihat berbagai hasil kerajinan mulai dari ukiran, anyaman, lukisan bahkan suku Vedan pun mengolah hasil tangkapan ikannya menjadi bentuk lain (abon) yang memiliki nilai jual tinggi. Abon ini dibuat dari ikan tenggiri. Kerajinan mereka pamerkan pada pameran-pameran nasional maupun wisatawan yang hadir di desa Podena.

Di sela-sela kegiatan studi kelayakan, saya bersama rekan lainnya melihat keindahan alam Papua yang tidak saya dapatkan di padatnya pulau Jawa. Mulai dari pantai utara Papua, Danau Sentani, sampai Kali Biru. Keindahan alam Papua tidak bisa dijelaskan dalam kata. Tidak hanya alam saja, budaya yang kaya dengan berbagai bahasanya menjadi ciri khas pulau Papua. Hal ini menjadi alasan utama kenapa pengalaman ini pasti tidak dilupakan.

Sebenarnya masih banyak yang bisa diceritakan, namun penulis rasa pengalaman di Papua selama kegiatan studi kelayakan akan sangat panjang apabila dituliskan pada artikel ini. Pengalaman lainnya yang didapatkan di Papua akan diceritakan pada artikel-artikel lainnya. Terima kasih dan sampai jumpa

Bagikan Cerita:

Facebook
LinkedIn
WhatsApp

Author:

Other Stories: