Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Multi Usaha Kehutanan, sektor kehutanan Indonesia mendapatkan peluang lebih untuk melakukan diversifikasi bisnis dan beralih dari bisnis berbasis kayu. Dunia bisnis, terutama di sektor kehutanan, dapat berkontribusi lebih jauh terhadap tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup negara ini, termasuk target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Bisnis tentunya memainkan peran penting yang berpengaruh signifikan terhadap emisi global dan konsumsi sumber daya. Merespon kebijakan tersebut, pada April 2022, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia bersama dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia membentuk Satuan Tugas Keberlanjutan. Inisiatif ini dilakukan dalam rangka menindaklanjuti permintaan yang semakin meningkat terhadap praktik bisnis yang bertanggungjawab dalam menghadapi krisis iklim. Di bawah inisiatif ini, Kadin melakukan promosi upaya menuju nol emisi dengan energi terbarukan, mobilitas listrik, pasar karbon, dan hutan regeneratif.

Sumber: Humas Kadin Indonesia, 2024
Selanjutnya pada tanggal 30 April 2024 lalu, Kadin telah menandatangani perjanjian hibah dengan Kedutaan Besar Inggris mengenai penguatan kerja sama untuk mencapai net-zero emission. Melalui perjanjian nota kerja sama tersebut, Inggris telah resmi menjadi mitra dan pendukung kuat bagi Kadin. Pemerintah Inggris mendukung Kadin dalam pendirian Kadin Regenerative Forestry Business Hub (RFBH). RFBH merupakan pusat layanan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi bisnis kehutanan sebagaimana yang menjadi tujuan Omnibus Law dan Peraturan Kehutanan Multiguna yang baru. Tujuan utama didirikannya RFBH adalah memberikan bekal bagi para pelaku usaha kehutanan di Indonesia dengan pengetahuan dan insentif yang dibutuhkan untuk praktik-praktik hutan regeneratif. Kadin memiliki visi dalam pendirian RFBH untuk mendukung bisnis kehutanan regeneratif di Indonesia agar dapat berkontribusi terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan ekologi negara, termasuk tujuan kehutanan dan NDC di Indonesia.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kehutanan regeneratif?
Sebenanrnya, terminologi kehutanan regeneratif tidak ditemukan di dalam peraturan-peraturan dan ilmu kehutanan yang ada di Indonesia. Praktik kehutanan regeneratif saat ini banyak diterapkan di Inggris, sehingga wajar saja jika istilahnya masih asing didengar. Akan tetapi, istilah “Pertanian regeneratif” mungkin sudah lebih familiar di telinga masyarakat Indonesia. Maka, pengertian kehutanan regeneratif akan dijelaskan melalui logika pertanian regeneratif.

Sumber: Nestlé Indonesia
Pertanian regeneratif (regenerative agriculture) merupakan konsep yang mencakup pertanian berkelanjutan yang merangkul upaya perbaikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, utamanya dalam mempertahankan keseimbangan ekologis. Di Indoneisa, praktik pertanian konvensional yang dilakukan terus-menerus ternyata memiliki berdampak buruk bagi lingkungan. Katakanlah bahwa pertanian konvensional menyebabkan penurunan kesehatan tanah yang akan. Produktivitas tanah akan semakin turun dalam jangka panjang, hingga akhirnya mengancam ketahanan pangan. Selain itu, rusaknya lapisan tanah dapat mengakibatkan lepasnya unsur C ke atmosfer dan memperburuk situasi iklim global.
Hadirnya konsep pertanian regeneratif dapat menjadi salah satu Langkah mitigasi perubahan iklim pertanian dan usaha dalam menjaga ketahanan pangan. Konsep ini menggunakan lebih banyak praktik berbasis alam yang mendukung fungsi-fungsi ekologis. Contoh praktik pertanian yang dapat dimaksimalkan adalah penerapan rotasi tanaman, pengomposan, pengurangan pestisida kimia, atau pola penanaman agroforestri. Di Indonesia, konsep pertanian regeneratif telah disimulasikan pada beberapa desa. Pada tahun 2022, IPB bekerjasama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan modelling pertanian regeneratif, salah satunya di Desa Sendangsari, Kabupaten Kulon Progo. Desa Sendangsari memiliki potensi dalam bidang pertanian dan peternakan, baik dari segi geografis, sumber daya manusia, maupun infrastrukturnya. Konsep pertanian regeneratif yang telah ada dikembangkan menjadi pertanian-peternakan regeneratif. Model yang dikembangkan berbasis simbiosis mutualisme. Limbah peternakan, seperti kotoran ternak, dimanfaatkan oleh tanaman pertanian sebagai pupuk, sedangkan limbah pertanian akan dijadikan pakan ternak. Dari hasil simulasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanian regeneratif dapat memberikan harapan besar bagi keberlanjutan pangan di Indonesia. Bagaimana dengan kehutanan regeneratif?
Sama halnya dengan pertanian regeneratif, kehutanan regeneratif kurang lebihnya mengadopsi, mengadaptasi, dan memodifikasi konsep tersebut dalam skala lahan yang lebih luas. Hutan penting dalam mengatasi krisis iklim karena menyimpan cadangan karbon di pohon yang hidup, memainkan peran penting dalam siklus karbon melalui tanah, dan menyediakan bahan yang ramah iklim, seperti kayu dan serat. Di Inggris, hutan yang ditanam umumnya memiliki keanekaragaman spesies yang rendah dan terus menurun. Tren ini harus dibalik karena kehutanan di Inggris memiliki potensi tinggi untuk berkontribusi dalam mencapai net-zero emission.
Satu fakta yang harus diperhatikan adalah hutan memang penting untuk menghasilkan kayu karena kita juga masih membutuhkan kayu dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, di sisi lain, hutan juga harus tangguh dan adaptif dalam menghadapi perubahan iklim. Walaupun sumber daya berupa kayunya tetap harus diambil, hutan harus tetap berfungsi sebagai carbon reservoir, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat secara sekaligus.
Menurut Kadin Indonesia, kehutanan regeneratif ini dekat dengan model bisnis multiusaha kehutanan dalam pengelolaan hutan produksi. Jenis multiusaha kehutanan adalah meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan nonkayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan/atau nonkayu. Di dalam kategori pemanfaatan jasa lingkungan, multiusaha kehutanan juga mencakup mitigasi perubahan iklim dan peningkatan simpanan karbon. Terlebih lagi jika area konsesi (HPH atau HTI) berada di lahan gambut, penyerapan karbon akan semakin bernilai tinggi. Dalam konteks ketahanan pangan, kehutanan regeneratif ini juga dekat dengan model perhutanan sosial. Poin plusnya adalah pengelola perhutanan sosial sudah sejak lama mempraktikkan multiusaha kehutanan.

Di Indonesia, keberadaan Hutan Tanaman Industri banyak menuai kontroversi. Pembangunan HTI seharusnya memperhatikan seluruh aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. HTI harus memperikan pengaruh positif terhadap ketiga aspek tersebut. Akan tetapi, nyatanya HTI memiliki dampak buruk pagi lingkungan. Pada tahun 2020, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebutkan bahwa HTI lebih cocok disebut kebun kayu karena HTI dibangun dengan model budidaya penanaman tunggal (monokultur). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan HTI tidak memiliki kesatuan ekologis sehingga mengancam keberlanjutan lingkungan. Pola penanaman monokultur yang diterapkan di HTI justru lebih rentan terserang penyakit. Jarak penanaman yang cukup renggang tidak dapat mendukung HTI menjadi rumah bagi satwa yang seharusnya hidup di dalamnya. Pemanenan habis (land clearing) yang dilakukan dapat menghilangkan topsoil pada tanah. Selain itu, HTI juga kerap kali menimbulkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat karena wilayah kelola rakyat di kawasan hutan diambil oleh para pengusaha HTI.
Oleh karena itu, regenerative forestry rasanya mampu menjadi alternatif solusi bagi permasalahan di atas. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bisnis kehutanan kini tidak hanya terbatas pada produksi kayu saja. Pengusaha dapat tetap menjalankan bisnisnya yang berbasis ramah iklim dan lingkungan. Beberapa prinsip pengelolaan kehutanan regeneratif sangat mendukung kelangsungan hidup kehutanan yang berkelanjutan. Contohnya, menerapkan pola penanaman polikultur (lebih dari satu jenis tanaman), termasuk dihadirkannya jenis pohon berdaun lebar dan jenis pohon yang dapat mengikat unsur N ke dalam tanah. Selain itu, jika kawasan hutan tersebut memang diperuntukkan untuk industri kayu, maka rotasi panen harus diterapkan sesuai dengan kondisi ekologinya.