Biodiversity Credit: Episode Baru ‘Bisnis Hijau’?

Pada dasarnya, keanekaragaman hayati menggambarkan keragaman berbagai bentuk makhluk hidup yang ada di alam. Keanekaragaman hayati telah lama mendapatkan ancaman kerusakan yang cukup besar. Hingga pada akhirnya, dewasa ini, alam banyak mengalami degradasi pada tingkat yang mengkhawatirkan. Bukan hanya dampak ekologis yang dihasilkan, melainkan dampak sosial juga tercipta dari adanya fenomena tersebut. Manusia lambat laun akan merasakan dampak dari degradasi lingkungan, terlebih jika hidup di wilayah yang berbatasan langsung dengan alam.

seringkali menanggung dampak paling besar akibat hilangnya keanekaragaman hayati dari upaya konservasi yang tidak bijak. Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan sejak lama mengandalkan hasil hutan yang dipanen sebagai sumber kehidupan sekaligus mata pencaharian. Banyaknya proyek yang berdatangan ke wilayah hutan menimbulkan kerusakan hutan secara masif. Kegiatan tersebut menyebabkan menipisnya hasil hutan yang dapat diperoleh dan dihasilkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan. Terlebih lagi, terdapat kesenjangan akses antara perusahaan yang menguasai sumber daya hutan hingga 97%, sedangkan masyarakat lokal hanya mendapatkan 3% bagiannya [1]. Oleh karena itu, biodiversity credit dirancang sebagai unit keanekaragaan hayati yang dapat memberikan insentif pada pelaku konservasi serta memberikan manfaat bagi kelompok masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan. Sejauh ini, terdapat beberapa inisiatif yang mengembangkan biokredit serta menguji pasar sukarela untuk kredit ini, contohnya adalah Terrasos dan Wallacea Trust.

Biodiversity credit atau kredit keanekaragaman hayati dapat dipahami sebagai unit standar dari hasil keanekaragaman hayati yang positif. Unit keanekaragaman hayati ini dihasilkan oleh satu atau lebih pelaku melalui konservasi atau restorasi keanekaragaman hayati. Kegiatan tersebut dipantau dari waktu ke waktu dan dilakukan verifikasi di akhir periode. Sistem kredit keanekaragaman hayati harus memberikan hasil ekologis yang terukur dan kepastian jangka panjang kepada investor dan pelestari keanekaragaman hayati. Hasil ekologi dapat meliputi struktur, komposisi, fungsi ekosistem, dan hal lainnya yang saling berkaitan. Hasil-hasil tersebut yang direpresentasikan sebagai biocredit. Biocredit dapat ditransfer dan dijual kepada individu/perusahaan yang ingin mengajukan klaim atas hasil-hasil tersebut. Jika dirancang dan dikembangkan secara matang, biocredit dapat menyokong kegiatan konservasi yang efektif dan secara langsung dapat mendukung tindakan yang dipimpin oleh masyarakat lokal. Masyarakat asli (indigenous people) dan komunitas lokal (local communities) dapat berpartisipasi penuh dalam mekanisme dan mendapatkan manfaatnya [2].

Sama halnya dengan carbon credit yang dapat diperoleh oleh pelaku yang ingin berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca, biodiversity credit (biocredit) juga dapat diperoleh oleh mereka yang ingin mendorong hasil positif keanekaragaman hayati. Akan tetapi, kedua skema tersebut cukup berbeda karena biocredit berada di luar kerangka kerja kredit karbon. Kredit karbon diciptakan agar para penghasil emisi dapat memberikan kompensasi setiap tahunnya, sedangkan biocredit diusung untuk menghentikan dan mengatasi berbagai ancaman hilangnya spesies, termasuk hilangnya habitat permanen.

Skema biocredit yang berkembang dan menjadi lebih umum memiliki cara penerapan konservasi melalui tiga pendekatan yang berbeda, yaitu mempertahankan atau menghindari kerugian, restorasi, serta mendukung upaya yang telah ada. Untuk menjalankan skema biocredit, diperlukan perhitungan yang jelas, dapat diterima, dan tidak ada bias. Durasi biocredit akan dipertahankan juga harus ditentukan, misalnya 10 tahun hingga 20 tahun lebih. Perhitungan yang ada memerlukan fleksibilitas yang tinggi untuk menekan bias yang ditimbulkan pada kondisi alam yang berbeda (sesuai dengan kondisi wilayah, iklim, dan geografis). Keanekaragaman hayati antarekosistem secara global menunjukkan bahwa tidak ada dua tempat yang persis sama. Maka dari itu, akan terdapat dinamika pemulihan yang bervariasi antar ekosistem. Contohnya, beberapa hutan dapat beregenerasi cukup cepat, misal hutan tropis lembab, sedangkan hutan lainnya membutuhkan waktu puluhan tahun, seperti hutan boreal. Jadi, pola pemulihan akan bergantung pada gangguan dan faktor seperti perubahan iklim. Hal ini mengamanatkan kita untuk memikirkan biocredit dengan cara yang lebih koheren dengan kenyataan alam yang dinamis sehingga tidak menimbulkan bias terhadap sistem pemulihan yang lebih cepat. Penting untuk menormalisasi berbagai intervensi pengelolaan dan lokasi berdasarkan serangkaian kriteria yang mewakili signifikansi ekologi global. Misalnya, penggunaan IUCN Red List sebagai standar global untuk menilai resiko.

Salah satu perusahaan yang mengembangkan biocredit adalah Terrasos. Terrasos berada di Kolombia, Amerika Selatan, yang mengkhususkan diri dalam penataan dan pengoperasian investasi lingkungan. Terrasos memperluas cakupannya ke dalam penerbitan biokredit. Perusahaan ini menjadi salah satu perusahaan yang melakukan inisiasi terhadap perbankan habitat di Kolombia. Terrasos beroperasi di seluruh Kolombia, namun sebagian besar berada di ekosistem yang paling terancam menurut IUCN Red List. Pada tahun 2022, Terrasos mengoperasikan bank habitat seluas 2000 hektar. Di Kolombia, bank habitat harus terdaftar dan diawasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Pada bulan Juli 2022, Terrasos telah menjual sekitar 60 Voluntery Biodiversity Credit (VCB). Hal ini menunjukkan adanya minat yang menjanjikan di pasar biocredit [3].

Jika dilihat dari beberapa studi kasus biodiversity credit yang telah dikembangkan, skema biokredit ini rasanya memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Wallacea trust, salah satu inisiatif lain yang merancang biodiversity credit, telah berhasil mengembangkan metodologi biodiversity credit yang diklaim berlaku untuk semua ekoregion di seluruh dunia. Wallacea Trust juga sedang melakukan upaya reboisasi hutan mangrove di beberapa wilayah tropis dunia, seperti Sri Lanka dan Republik Ekuador. Jika dilihat dari lokasi pengembangan biocredit yang telah dilakukan, Indonesia memiliki karakteristik yang serupa dengan negara-negara tersebut. Indonesia merupakan negara tropis dengan keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Tahun 2017, Indonesia memiliki 31.750 jenis tumbuhan yang teridentifikasi. Jumlah tersebut merupakan 1,75% dari seluruh jenis tumbuhan yang telah teridentifikasi di dunia. Setiap tahunnya, spesies-spesies baru selalu ditemukan di Indonesia. Selain itu, Indonesia menempati kekayaan fauna nomor dua setelah Brazil, yaitu sekitar 12% mamalia, 16% reptil, dan 17% burung dunia terdapat di Indonesia [4]. Spesies endemik yang hanya hidup di wilayah Indonesia sebagian besar di antaranya masuk ke dalam IUCN Red List. Contohnya adalah eboni (Diospyros celebica) pada taksa flora dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada taksa fauna. Selain itu, Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki garis pantai yang panjang, yaitu 99.083 kilometer. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki 23% ekosistem mangrove dunia, yaitu sekitar 3.489.140,68 ha (tahun 2015) [5].

Source:

[1] Adnan H, Berliani H, Hardiyanto G, Suwito, Sakti DK. 2015. Pemberdayaan Masyarakat melalui Kemitraan Kehutanan. Jakarta: The Partnership for Governance Reform.

[2] [3] Ducros A, Steele P. 2022. Biocredits to Finance Nature and People: Emerging Lessons. London (UK): International Institute for Environment and Development.

[4] Setiawan A. 2022. Keanekaragaman hayati Indoensia: masalah dan upaya konservasinya. Indonesian Journal of Conservation. 11(1):13-21.

[5] [KLHK] Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561#:~:text=Dengan%20panjang%20garis%20pantai%20sebesar,68%20Ha%20(tahun%202015).