Historis Kebijakan Karbon di Indonesia (Bagian 1)

Tanggal 14 Juni menjadi babak baru dalam perkembangan perdagangan karbon di Indonesia. Hal ini dipicu dengan ditetapkannya Permen LHK Nomor 7 tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon. Permen LHK ini mengatur tentang perdagangan karbon di sektor kehutanan dalam rangka pencapaian target NDC sektor kehutanan. Perdagangan karbon merupakan mekanisme pengurangan emisi Gas Rumah Kaca  berbasis pasar melalui kegiatan jual beli unit karbon (SPE-GRK).

Kebijakan ini tidak dibuat seperti “Candi Prambanan”, ada jalan panjang yang ditempuh sampai pada akhirnya ada aturan yang membahas secara teknis perdagangan karbon di Indonesia. Apabila dirunut dari awal, kebijakan ini bermula dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang dihadiri oleh 108 kepala negara dari total 172 negara yang ikut berpartisipasi. Poin-poin yang dibahas di KTT Bumi mencakup sumber energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar fosil untuk mengurangi perubahan iklim, menyoroti sistem transportasi publik untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan, kemacetan dan masalah kesehatan akibat polusi udara serta kelangkaan air. Poin/isu yang dibahas ini membuka mata dunia untuk lebih peduli kepada lingkungan. Adapun dokumen kesepakatan yang mengikat para peserta KTT Bumi, salah satunya ialah dokumen Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Dokumen ini bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sampai pada tingkat mencegah campur tangan manusia kepada sistem iklim. Di Indonesia dua tahun kemudian, Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto mengesahkan UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Tahun 1997 pada konvensi UNFCCC di Kyoto, Jepang, ditandatangani sebuah persetujuan yang berisi pengurangan emisi gas rumah kaca pada negara industri secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan tahun 1990 dengan mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, belerang heksafluorida, HFC dan PFC. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC. Dari sana diketahui bahwa sudah adanya penetapan target penurunan emisi dan spesifik gas rumah kaca yang dikurangi. Pada tahun yang sama akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai pengelolaan lingkungan hidup melalui UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyempurnakan UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 23 tahun 1997 ini menjadi landasan bagi semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup seperti peraturan perundang-undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain. Contoh nyatanya ialah pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan kehutanan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan pada aneka fungsi hutan. Sampai saat ini, UU No. 41 tahun 1999 terus menjadi rujukan dalam penyelenggaraan kehutanan, karena dalam UU ini dibahas pengurusan hutan mulai dari perencanaan kehutanan, pengelolaan kehutanan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta  penyuluhan kehutanan sampai dengan pengawasan. Pada UU ini pula telah diatur pemanfaatan kawasan hutan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan yang kemudian diturunkan ke dalam PP No.34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan kawasan Hutan, dalam peraturan ini dijelaskan lebih detail mengenai pengurusan hutan.

Tujuh tahun pasca ditandatanganinya Protokol Kyoto, tepatnya 28 Juli 2004, akhirnya Indonesia baru meratifikasi Protokol Kyoto menjadi Undang-undang (UU No. 25 tahun 2004). Ratifikasi ini tentunya turut membantu pemenuhan syarat “55%” sehingga pada tanggal 16 Februari 2005 persetujuan dalam Protokol Kyoto mulai diterapkan. Tidak butuh waktu lama, pada tahun 2007 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 20 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 yang salah satu rencananya ialah Mewujudkan Indonesia yang Asri Dan Lestari” dengan mendayagunakan sumber daya alam terbarukan, mengelola sumber daya alam yang tidak terbarukan, menjaga keamanan ketersediaan energi, menjaga dan melestarikan sumber daya air, mengembangkan potensi sumber daya kelautan, meningkatkan nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya alam tropis yang unik dan khas, memerhatikan dan mengelola keragaman jenis sumber daya alam yang ada di setiap wilayah, mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia, mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan, meningkatkan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup.

Akhirnya pada tahun 2009 diterbitkan dua Permen yang saling berkaitan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, kedua permen yang dimaksud yakni Permenhut No. 30 Tahun 2009 dan Permenhut No. 36 Tahun 2009. Pertama akan dibahas terlebih dahulu mengenai Permenhut No. 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perubahan Iklim ke – 13, secara umum Permenhut ini bertujuan untuk menekan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pengurangan emisi bisa dilakukan pada areal kerja usaha (IUPHHK); Hutan Alam, Hutan Tanaman, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,  Restorasi Ekosistem, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); Hutan Produksi, Hutan Lindung ,Hutan Konservasi serta Hutan Adat, Hutan Konservasi dan Hutan Hak. Para pemegang izin pengelolaan dari kawasan hutan yang telah disebutkan akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk pengusulan pelaksanaan REDD. Setelah mendapatkan izin pengurangan emisi menggunakan skema REDD, pemilik izin akan memperoleh hak pembayaran dari entitas internasional atas penurunan emisi yang dihasilkan[i]. Entitas internasional kemudian menggunakan sertifikat REDD sebagai komitmen penurunan emisi bagi negara maju. Hampir senada dengan permenhut No. 36 Tahun 2009 yang mana membahas mengenai manfaat ekonomi yang didapat dari pengurangan emisi khususnya karbon. Permenhut ini merupakan turunan dari PP No. 6 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa salah satu pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dan hutan lindung ialah penyerapan atau penyimpanan karbon yang diberikan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL). Secara khusus permenhut No. 36 Tahun 2009 membahas mengenai Usaha pemanfaatan Penyerapan Karbon dan/atau Penyimpanan Karbon (RAP-KARBON) yang dilakukan pada areal kerja usaha yang telah dibebani izin (IUPHHK) yang meliputi Hutan Alam, Hutan Tanaman, Hutan Tanaman Rakyat,  dan Restorasi Ekosistem dengan cara penanaman, perpanjangan siklus tebang, pengayaan jenis, pemeliharaan dan pengamanan jalur, perluasan areal perlindungan dan konservasi, perlindungan dan pengamanan areal. Bagi areal yang tidak dibebani izin maka permohonan IUP RAP-KARBON dapat diajukan oleh perorangan, koperasi, BUMN/BUMD dan Badan Usaha Miliki Swasta Indonesia. Dalam permenhut ini dijelaskan apabila pasar karbon sukarela dalam negeri belum terbentuk maka para pengembang bisa memasarkannya pada pasar karbon sukarela internasional.

[i] Memperjualbelikan sertifikat REDD mulai dilakukan pada tahun 2012