Aksi Mitigasi dalam Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030

Secara garis besar, aksi mitigasi yang diharapkan memiliki kontribusi paling besar dalam pencapaian target penurunan emisi sektor FOLU ialah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan pengelolaan lahan gambut, peningkatan serapan karbon dari kegiatan pembangunan hutan tanaman, pengelolaan hutan lestari dan rehabilitasi hutan.

Dalam dokumen Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030, telah dijelaskan kebijakan dan aksi mitigasi menuju Indonesia FOLU Net Sink 2030 dengan memperhatikan target penurunan emisi yang ingin dicapai. Aksi mitigasi tersebut antara lain:

  1. Pencegahan/Penurunan Laju Deforestasi Hutan

Salah satu aksi dalam keberhasilan sektor kehutanan dan lahan menuju net sink 2030  adalah perlindungan hutan dari deforestasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat bahwa angka deforestasi Indonesia dari tahun 2013-2020 mencapai 3.316.097 ha, angka tersebut tiap tahunnya akan terus bertambah sehingga diperlukan aksi mitigasi untuk menekan laju kenaikan deforestasi di Indonesia. Dalam konteks net sink, kegiatan perlindungan hutan khususnya deforetasi terdapat istilah deforestasi terencana dan tidak terencana. Deforestasi terencana adalah konversi hutan alam yang dilakukan secara legal, seperti di area berhutan alam di HGU (Hak Guna Usaha) dan PBPH HT(Perizinan Berusaha Pengelolaan Hutan, Hutan Tanaman) yang masuk arahan produksi maupun APL (Area Penggunaan Lain) dan HPK (Hutan Produksi Konversi) yang berpotensi dikonversi untuk kegiatan non kehutanan. Sementara, deforestasi tidak terencana adalah perubahan tutupan hutan alam menjadi non hutan alam yang tidak memiliki dasar legal seperti perambahan hutan illegal di dalam maupun luar kawasan hutan dengan fungsi lindung atau lahan PBPH.

Pengendalian deforestasi terencana di dalam kawasan hutan yang belum dibebani izin dapat dilakukan dengan pengaturan lebih lanjut PBPH. Pada area APL yang berada di luar konsesi dapat dilakukan dengan memasukkan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 ke dalam proses perencanaan tata ruang melalui kebijakan KLHS sesuai dengan PP No.46/2016. Pada area berizin (konsesi), pengendalian deforestasi terencana dapat dilakukan dengan mengembangkan mekanisme insentif seperti skema RBP REDD+ yang telah diatur dalam Permen LHK No. 70/2017. Sementara, pengendalian deforestasi tidak terencana melalui upaya pemberdayaan ekonomi dan pembinaan masyarakat dengan melibatkan semua pihak terkait terutama pada area dengan tingkat risiko emisi tinggi (IPL tinggi) harus ditingkatkan.

  1. Pencegahan/Penurunan Degradasi Hutan Konsesi

Selain deforestasi, penyelamatan hutan primer dari degradasi akibat kegiatan pemanenan kayu di area konsesi menjadi perhatian khusus dalam penurunan emisi GRK. Laju degradasi hutan alam di area konsesi selama periode 2013-2019 diketahui sebesar 0,44 juta ha, sehingga untuk mencapai target net sink laju degradasi hutan tidak boleh mengikuti laju historis tersebut. Area hutan primer yang sudah terdegradasi menjadi hutan sekunder dapat dipulihkan melalui regenerasi buatan untuk meningkatan serapan hutan sekunder. Selain itu, dapat melalui skema perhutanan sosial dimana area yang mengalami keterlanjuran pemanfaatan oleh masyarakat dapat diarahkan menjadi bentuk kemitraan kehutanan dengan system pembagian hasil berdasarkan rasio keberadaan asset dari masyarakat. Skema multi usaha kehutanan pun dapat dilakukan dalam area hutan untuk tipe pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan. Dalam kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, perlindungan hutan alam dalam area konsesi dalam fungsi arahan produksi dapat menjadi bagian dari skema REDD+ (PerMen LHK No.70/2017). Kegiatan perlindungan hutan primer dalam area PBPH dalam arahan produksi juga dapat menerima insentif melalui skema REDD+.

  1. Pembangunan Hutan Tanaman

Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk memenuhi permintaan kayu industri domestik maupun internasional serta untuk menurunkan ketergantungan produksi kayu dari hutan alam. KLHK dalam hal ini Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) memiliki program yang berkaitan dengan pembangunan hutan tanaman, diantaranya yaitu program pengelolaan hutan lestari dan usaha kehutanan serta pengembangan hutan tanaman energi (HTE). Pembangunan hutan tanaman dalam kawasan PBPH dapat dioptimalkan untuk meminimalisir perluasan hutan tanaman (HT) pada lahan yang berpotensi konflik.

  1. Pengelolaan Hutan Lestari

Penurunan emisi melalui pengelolaan hutan lestari (PHL) dapat terjadi melalui upaya pengurangan dampak kerusakan tegakan akbir penebangan dengan menerapkan teknologi Reduce Impact Loging (RIL) maupun melalui upaya pengayaan (Enhanced Natural Regeneration). Upaya pengayaan dilakukan apabila kondisi tegakan hutan setelah penebangan mengalami degradasi berat atau berada pada tingkat produksi yang menyulitkan untuk regenrasi alami sehingga keberlanjutan produksi pun tidak terjamin. Di dalam kawasan Hutan Produksi, kegiatan pengayaan dapat dilakukan melalui kegiatan Silvikultur Intensif (SILIN) dengan teknik penanaman pengkayaan hutan alam. Peningkatan pelaksanaan pengayaan dapat juga dilakukan di luar kawasan hutan produksi seperti dalam kawasan hutan konservasi dengan kegiatan rehabilitasi melalui pengayaan jenis yang dapat dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pemulihan ekosistem.

  1. Rehabilitasi non- Rotasi dan dengan Rotasi

Kegiatan rehabilitasi non-rotasi menjadi bagian dari aksi mitigasi untuk peningkatan cadangan karbon di lahan yang tidak produktif maupun budidaya yang masuk dalam arahan lindung dan rehabilitasi. Prioritas pelaksanaan kegiatan rehabilitasi adalah pada lahan kritis dan berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang perlu dipulihkan. Sementara, kegiatan rehabilitasi dengan rotasi diarahkan pada lahan tidak produktif yang berada pada arahan produksi dan konversi yang ada di area APL. Rehabilitasi dengan rotasi di dalam kawasan hutan diarahkan pada lahan tidak produktif, budidaya dan perkebunan dalam bentuk hutan rakyat atau agroforestry.  Kegiatan rehabilitasi dengan rotasi di dalam kawasan hutan produksi ditujukan untuk memenuhi target produksi kayu nasional, baik secara monokultur maupun secara agroforestri dalam skema perhutanan sosial.

  1. Pengelolaan Lahan Gambut

Salah satu aksi mitigasi dalam pengelolaan lahan gambut ialah melalui PerMen LHK No.15 Tahun 2017 yaitu pemilik perizinan PBPH atau HGU yang terindikasi berada dalam ekosistem gambut harus mempertahankan tinggi muka air lahan gambut tidak lebih dari 40 cm, melalui perbaikan tata air di lahan gambut. Aksi mitigasi dari mempertahankan tinggi muka air tersebut akan menghasilkan penurunan emisi dibandingkan dengan tinggi muka air sesuai dengan kondisi baseline untuk budidaya tanaman komersil. Pada lahan gambut yang sudah terdegradasi akibat konversi lahan, kebakaran maupun pengeringan, diperlukan adanya intervensi restorasi yang ditujukan untuk mengembalikan dan meningkatkan fungsi ekosistem lahan gambut. Intervensi tersebut dapat berupa adanya kegiatan pembasahan dan penanaman komoditas yang adaptif terhadap karakteristik alami lahan gambut. Apabila implementasi tata air dan pelaksanaan restorasi lahan gambut berhasil maka akan berpengaruh terhadap penurunan risiko kebakaran lahan gambut. Dalam konteks net sink pun, kebakaran lahan gambut harus mencapai nol pada tahun 2030, sehingga pengelolaan lahan gambut harus dilaksanakan dengan serius.