Wakatobi, sebuah kabupaten yang terletak di bagian tenggara Pulau Sulawesi. Nama Wakatobi merupakan akronim dari nama-nama empat pulau besarnya, yaitu Pulau Wangi-Wangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomia (To), dan Binongko (Bi). Kunjungan kami di Wakatobi merupakan kegiatan validasi lapang dalam proyek Academic Study for Enhancing Climate Resilience and Action pada empat sektor prioritas, yakni Kelautan dan Pesisir, Air, Pertanian, dan Kesehatan. Rangkaian kegiatan kami selama di Wakatobi meliputi diskusi penyelarasan kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI), observasi lapang, dan kunjungan ke beberapa dinas serta organisasi perangkat daerah untuk menyelaraskan informasi dan menjaring data terkait iklim.
Wakatobi mencakup wilayah seluas sekitar 1,3 juta hektare, di mana 97% terdiri atas lautan dan hanya 3% daratan (Bappeda Wakatobi, 2024). Kondisi ini menjadikan kekayaan bawah laut sebagai daya tarik utama sektor pariwisatanya. Salah satu lokasi ikonis yang kami kunjungi adalah Sombu Dive di Pulau Wangi-Wangi. Tempat ini menawarkan posisi strategis untuk menikmati kejernihan air laut, panorama matahari terbenam, serta dilengkapi infrastruktur pendukung yang memadai. Air lautnya yang jernih seperti kaca memungkinkan pengunjung mengamati keindahan bawah laut, termasuk gugusan karang dan ikan-ikan kecil, langsung dari atas jembatan di tepi pantai.
Desa Darawa, Pulau Kaledupa
Desa Darawa merupakan salah satu wilayah dengan produktivitas rumput laut tertinggi di Pulau Kaledupa. Dalam observasi kami, salah satu temuan menarik adalah skema pengelolaan penangkapan gurita berbasis adat yang disebut Namo Nusara. Skema ini diterapkan dalam praktik penangkapan untuk menjaga kelestarian stok gurita di masa yang akan datang. Dalam Namo Nusara, terdapat pembagian wilayah penangkapan yang memperhatikan aspek kesetaraan gender. Perempuan diberikan akses khusus untuk menangkap gurita di wilayah perairan dangkal, yang menjadi area eksklusif mereka. Laki-laki tidak diperkenankan memasuki wilayah ini, sementara perempuan tetap memiliki kebebasan untuk memasuki area penangkapan yang diperuntukkan bagi laki-laki.
Meskipun memiliki tradisi yang unik, masyarakat Desa Darawa menghadapi kendala akses yang belum merata terhadap air bersih, listrik, dan sinyal telekomunikasi. Air bersih di desa ini sebagian besar berasal dari air hujan yang ditampung sebagai sumber utama kebutuhan rumah tangga. Hampir setiap rumah dilengkapi dengan bak penampung air hujan dan toren berukuran besar, menunjukkan pentingnya cara ini dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Desa Pajam
Desa Pajam, yang terletak di Pulau Kaledupa, dikenal sebagai wilayah penghasil bawang merah di pulau ini. Uniknya, penduduk desa ini tidak menentukan musim tanam berdasarkan bulan, melainkan menggunakan pola angin sebagai acuan dalam bercocok tanam. Berdasarkan penuturan warga setempat, nenek moyang mereka bahkan menggunakan rasi bintang untuk menentukan awal masa tanam. Saat ini, penanaman dilakukan pada awal musim timur, yang biasanya bertepatan dengan bulan-bulan basah. Namun, akibat perubahan iklim, waktu musim menjadi tidak menentu. Sebagai gantinya, masyarakat menggunakan tanda-tanda alam untuk menentukan awal masa tanam. Tanda utama adalah turunnya hujan pertama setelah musim kemarau yang panjang serta saat pohon “kaibui” mulai berbuah. Musim barat, yang dikenal sebagai musim hujan, juga menjadi acuan penting dalam praktik agraris masyarakat setempat.
Pantai Cemara dan Sombu
Pantai Cemara dan Pantai Sombu adalah dua lokasi terkenal di Wakatobi yang menawarkan keindahan bawah laut, terutama melalui aktivitas diving. Kedua pantai ini sering menjadi destinasi favorit wisatawan. Sebagian besar terumbu karang di area tersebut masih terawat dengan baik, meskipun pada kedalaman tiga meter mulai terlihat gejala pemutihan karang. Menurut penduduk lokal, pemutihan ini disebabkan oleh kenaikan suhu air laut, dengan beberapa jenis karang lebih rentan terhadap perubahan tersebut. Meskipun demikian, keanekaragaman hayati bawah lautnya tetap memikat. Beberapa biota laut yang kami temui mencakup koral, anemon, ikan badut (Amphiprioninae sp.), teripang gombyok (Pearsonothuria graeffei), dan berbagai spesies lainnya, menjadikan Wakatobi sebagai surga bagi pecinta wisata bawah laut.
Masyarakat Bajo
Suku Bajo dikenal akan kehebatannya menjelajahi lautan. Tim kami mengunjungi dua komunitas Suku Bajo di Wakatobi, yaitu Bajo Sampela di Pulau Kaledupa dan Bajo Mola di Pulau Wangi-Wangi. Menurut Bapak Ahmad Albar, seorang warga Bajo Mola, nama “Bajo” berasal dari padanan kata “Bangsa Johor” dan suku ini tersebar di berbagai belahan dunia. Suku Bajo di Wakatobi memiliki populasi terbesar di Asia Tenggara, dengan mayoritas bekerja sebagai nelayan. Meskipun berada di wilayah yang sama, keduanya memiliki perbedaan mencolok. Masyarakat Bajo Mola tinggal di rumah-rumah terapung yang terhubung ke daratan dengan jalan setapak, sehingga aksesnya bisa dilakukan dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua. Sementara itu, rumah-rumah di Bajo Sampela dibangun di atas karang, sehingga akses ke sana hanya dapat menggunakan kapal.
Desa Liya Bahari
Desa Liya Bahari merupakan salah satu sentra budidaya rumput laut di Wakatobi. Berkat kondisi perairan yang mendukung, budidaya di desa ini relatif tidak terpengaruh oleh perubahan iklim. Salah satu aktivitas utama di desa ini adalah Totingko Tegarangga, yaitu proses memanen rumput laut. Menurut Pak La Khusni, seorang petani setempat, hasil panen dari empat tali bisa mencapai 100 kg. Saat kunjungan kami, jenis rumput laut yang dipanen adalah Spinosum (Eucheuma spinosum), yang memiliki warna merah kecokelatan.
Desa Wisata Liya Togo
Wakatobi memiliki lokasi bersejarah di Desa Liya Togo, Wangi-Wangi Selatan, yang kaya akan sejarah, adat, dan budaya. Desa ini terkenal dengan Benteng Keraton Liya, peninggalan Kesultanan Buton, yang merupakan benteng terbesar di Wakatobi dengan luas 52 hektare. Benteng yang terletak di ketinggian ini menawarkan pemandangan laut dan perkampungan. Desa Liya Togo juga menjadi rumah bagi Masjid Mubarok Liya, masjid tertua di Wakatobi. Meskipun telah mengalami pemugaran, beberapa elemen asli masjid tetap dipertahankan, menciptakan nuansa khas bagi para pengunjung.
Perjalanan kami di Wakatobi merupakan sebuah pengalaman berkesan mendalam dimana kami melihat perpaduan keindahan bawah laut, kemajemukkan suku dan adat istiadat, serta lanskap geografis yang menawan menjadikan Wakatobi bak “surga” dari tenggara Pulau Sulawesi, yang menumbuhkan keinginan untuk kembali lagi.