Telisik sebab pencemar udara Jakarta

Berita di jagat maya beberapa minggu ini dipenuhi oleh topik terkait “buruknya” kondisi udara di Jakarta. Bahkan, dilansir dari situs pemantau kualitas udara (IQ Air), pada hari Rabu (6/7/2022) kualitas udara di Jakarta termasuk kedalam 10 kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan indeks AQI US mencapai angka 113 atau kategori Tidak Sehat (Bisnis.com).

Nilai indeks AQI US ditentukan berdasarkan parameter konsentrasi PM2.5. PM2.5 adalah polutan (pencemar) udara yang berukuran sangat kecil, sekitar 2.5 mikron (mikrometer) yang terbentuk di atmosfer karena reaksi bahan kimia seperti Sulfur Dioksida (SO2) dan Nitrogen Oksida (NOx) (Katadata.co.id). Polutan ini terbentuk dari pembuangan pembangkit listrik, industri, dan mobil. Sumber polutan (pencemar) ini menjadi dampak dari peningkatan aktivitas manusia di Jakarta yang berbanding lurus terhadap peningkatan konsumsi energi.

Langkah konkrit yang ditempuh oleh pemerintah Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta yang bekerjasama dengan Vital Strategies melakukan kajian inventarisasi pencemar udara pada tahun 2020. Pencemar udara yang di inventarisasi meliputi Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), PM10, PM2.5, Black Carbon (BC) dan Non-Methane Volatile Organic Compounds (NMVOCs). Inventarisasi ini berfokus pada beberapa sektor yang diduga menjadi sumber utama pencemar udara antara lain sektor industri energi, sektor industri manufaktur, sektor transportasi termasuk transportasi darat, laut dan penerbangan, sektor komersial dan sektor domestik.

Penghitungan inventarisasi dilakukan menggunakan pedoman perhitungan inventarisasi beban emisi didaerah perkotaan dari Kementrian Lingkungan Hidup yang diterbitkan tahun 2013 dan European Monitoring dan Evaluation Programme (EMEP) air pollutant emission inventory guidebook yang diterbitkan pada tahun 2019 oleh European Environment Agency. Metode yang digunakan yaitu berdasar data konsumsi bahan bakar dan jenis bahan bakar yang meliputi minyak, gas dan batu bara.

Hasil kajian inventarisasi pencemar udara menunjukkan bahwa total konsumsi energi di seluruh sektor pada tahun 2018 adalah sebesar 440.904 TJ (TerraJoule). TerraJoule (satuan jenis bahan bakar) yang paling banyak digunakan adalah Gas yaitu sebesar 50,6% dengan komposisi pengunaan adalah Natural Gas, LPG dan BBG. Minyak termasuk IDO/HSD, Kerosene, Gasoline, Diesel, MFD dan Avtur digunakan sebesar 48,9%. Batu bara adalah bahan bakar dengan komposisi terkecil yang digunakan yaitu 0,42% (Gambar 1).

Gambar 1 Persentase penggunaan bahan bakar

Apabila dispesifikkan tiap sektornya, maka pengguna energi terbesar ialah sektor transportasi dengan total energi yang digunakan sebesar 194.860 TJ. 44% dari penggunaan energi total. Penggunaan energi secara lebih lengkap bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Total Penggunaan Bahan Bakar (Sumber : DLH DKI 2020)

 

 

 

 

 

Komposisi jenis bahan bakar terbesar yang digunakan pada sektor transportasi ialah Minyak (Gasoline, Solar, MFD dan Avtur) yaitu sebesar 191.710 TJ. Pada sektor industri energi jenis bahan bakar yang paling banyak digunakan ialah Natural Gas sebesar 133.103 TJ. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan dimana pembangkit listrik di wilayah Jakarta telah menggunakan Natural Gas sebagai bahan bakar utama. Pada sektor perumahan, menggunakan bahan bakar Gas yaitu LPG dan Natural Gas yaitu sebesar 61.175 TJ. Secara lebih lengkap bisa dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram penggunaan bahan bakar setiap sektor berdasarkan Jenis Bahan Bakar (Sumber : DLH DKI 2020)

 

Hasil inventarisasi ini kemudian dihitung estimasi beban pencemaran udaranya menggunakan persamaan

Dimana

FC = Konsumsi Bahan bakar jenis j

EF = Faktor emisi polutan i dari bahan bakar j

p = sektor

 

Estimasi beban pencemar udara menunjukkan bahwa sektor transportasi lagi-lagi menjadi sektor penyumbang pencemar udara terbesar dibandingkan sektor lainnya terutama pada pencemar Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), PM10, PM2.5, Black Carbon (BC) dan Non-Methane Volatile Organic Compounds (NMVOCs) (Tabel 2). Hanya nilai pencemar Sulfur Dioksida (SO2) yang nilainya lebih rendah dibanding sektor lainnya. Pencemar Sulfur Dioksida (SO2) terbesar dihasilkan oleh sektor Manufaktur Industri.

Tabel 2 Total beban emisi berdasarkan sektor (Olahan : DLH DKI 2020)

Tingginya nilai beban pencemar udara dari sektor transportasi rata-rata diakibatkan oleh moda transportasi darat. Seperti pada penyumbang NOx sebesar 66,7% atau sebesar 45.819,67 ton/tahun dihasilkan dari Mobil beban/Truk. Begitupun dengan pencemar PM10, PM2.5 dan Black Carbon sebesar 87 % berasal dari transportasi darat terutama mobil beban/truk. Penyebabnya tidak lain adalah jumlah konsumsi diesel, kualitas bahan bakar dan teknologi kendaraan berkontribusi dalam kejadian tingginya beban emisi NOx.

Sedangkan untuk pencemar CO dan NMVOCs dihasilkan oleh Sepeda motor. Bahkan emisi CO dari kendaraan sepeda motor mencapai 200.863,67 ton atau sebesar 70,16% dari total emisi CO yang dihasilkan moda transportasi darat. Begitupun, dengan NMVOCs 96% nya dihasilkan oleh sepeda motor. Hal ini didasarkan karena jumlahnya yang paling banyak dibanding jenis moda kendaraan darat lainnya. Berdasarkan data yang dihimpun dari BPS pada tahun 2020, jumlah persentase sepeda motor mencapai 74,5% dari total kendaraan atau sejumlah 14.773.012 unit sehingga walaupun dengan kualitas bahan bakar yang lebih baik pun tetap memberikan kontribusi yang cukup siginifikan terhadap beban emisi pencemar udara.